PENYULIT INTRATORAKAL DARI TUBERKULOSA PARU
Koentjahja
Bambang Soeprijanto, Sugeng Suprijono
PENDAHULUAN
Tuberkulosa dianggap sebagai suatu kesatuan penyakit (disease entity), sejak ditemukannya kuman Mikobakterium tuberkulosa sebagai penyebabnya oleh Robert Koch pada tahun 1882. Sebagian besar penularan terjadi melalui saluran napas (droplet infection), sebagian kecil melalui saluran pencernaan, sebagian kecil lainnya melalui jalan selain yang telah disebutkan terdahulu.
Sebagai penyakit endemis, oleh WHO diperkirakan diseluruh dunia terdapat 10-12 juta penderita Tuberkulosa yang menular dengan jumlah kematian sebanyak 3 juta penderita tiap tahun. Keadaan ini dijumpai 75td_persen di negara yang sedang berkembang dengan sosioekonomi yang rendah, termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri ini merupakan penyakit rakyat nomor satu dan penyebab kematian nomor tiga. Data data tahun 1982 yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut:
Angka kejadian infeksi: Angka kekerapan sputum positip : 0,6 td_persen
1- 6 tahun: 23,6 td_persen Angka kekerapan radiologis : 3,4 td_persen
7-14 tahun: 42 td_persen Angka kematian : 38,8/100.000
> 15 tahun: 76 td_persen "Break down rate" : 5 td_persen
Tuberkulosa dikenal sebagai "the great imitator disease", penyakit dengan gejala banyak menyerupai gejala penyakit yang lain, dalam arti sempit dapat pula diartikan bahwa tuberkulosa paru maupun penyulitnya dapat memberikan manifestasi dari banyak penyakit-penyakit paru yang lain.
Berhubung tuberkulosa adalah penyakit sistemik dengan aspek yang demikian luas, maka pembicaraan kali ini akan kami batasi pada penyulit intratorakal dari Tuberkulosa paru, khususnya Tuberkulosa paru pasca primer dan sekaligus disertakan angka kejadian masing-masing komplikasi tersebut dibangsal UPF Paru RSUD Dr. Soetomo.
PATOGENESA TUBERKULOSA PARU
Setelah kuman Tuberkulosa pertama kali memasuki tubuh mencapai asinus, timbulah reaksi keradangan pada tubuh penderita yang belum mempunyai kekebalan spesifik. Keadaan ini disebut Tuberkulosa primer. Berhubung belum adanya kekebalan spesifik, proses ini mudah mengadakan penyebaran melalui hematogen atau limfohematogen dan terjadilah keadaan yang dikenal sebagai Tuberkulosa subprimer. Reaksi yang timbul sesudah terdapat kekebalan spesifik terhadap kuman Tuberkulosa disebut Tuberkulosa pasca primer.
Sebagaimana telah diketahui, proses eksudat adalah merupakan kelainan patologis dasar pada keradangan yang akut atau fase awal dari keradangan kronis, sedangkan proses proliferasi (infiltrat) adalah kelainan patologis dasar pada keradangan kronis. Perjalanan penyakit Tuberkulosa sendiri adalah bervariasi luas, bisa akut, subakut atau menahun dan merupakan pencerminan dari reaksi kekebalan seluler. Disamping itu dikatakan pula bahwa proses perkejuan adalah kelainan patologis dasar pada keradangan spesifik karena Tuberkulosa. Proses eksudat bila sembuh dikatakan tidak menimbulkan bekas sedangkan proses proliferasi (infiltrat) akan menimbulkan bekas berupa jaringan parut.
Tuberkulosa paru dimulai dengan terbentuknya proses keradangan paru akut (pnemonia) yang sifatnya terbatas yang dikenal dengan afek primer, yang selanjutnya dapat berubah menjadi proses perkejuan akibat pengaruh bahan tuberkulotoksik dari kuman Tuberkulosa. Proses ini biasanya sembuh sendiri tanpa bekas atau sembuh dengan pengapuran. (lihat gambar 1 & 2)
Sebelum dibentuk antibodi spesifik proses eksudat ini dapat mengadakan penyebaran kekelenjar limfe regional (membentuk keradangan kelenjar hilus) bahkan juga melalui aliran darah keorgan-organ dan membentuk tuberkel ditempat tersebut.
Setelah dibentuk antibodi spesifik, proses yang terjadi berupa sarang pnemonia yang cenderung mengadakan perluasan dan menyebarkan kuman Tuberkulosa kebagian paru yang lain serta cenderung mengalami perkejuan. Pada keadaan yang kronis yaitu sesudah terpapar dengan kuman Tuberkulosa dalam jumlah banyak dan berkelanjutan, terbentuklah proses proliferasi (infiltrat) yang mempunyai sifat menimbulkan destruksi, nekrosis dan ulserasi. Akibatnya timbulah bermacam-macam lesi dasar pada suatu stadium dari penyakit antara lain nodul berkapsul, lesi eksudat, lesi proliferasi, kavitas. Selanjutnya lesi dasar ini membentuk spektrum kelainan dasar dari pada tuberkulosa paru yaitu tuberkulosa milier, kavitas dan kelainan lokal yang sifatnya destruktif dan progresif. Perluasan proses ini dapat dengan cara penyebaran langsung kesekitarnya, melalui saluran napas (bronkogenik), melalui saluran limfe dan melalui peredaran darah.
Tuberkulosa paru terbentuk dari susunan banyak proses lokal, dan tergantung dari kemampuan daya tahan tubuh, dapat dijumpai lesi yang sembuh sendiri, lesi yang progresif, reaktivasi maupun lesi yang stabil. Disamping itu secara keseluruhan penyakit ini juga menunjukkan suatu suatu fluktuasi antara remisi dan eksaserbasi. Setelah sembuhpun berhubung adanya kuman Tuberkulosa yang bersifat "dormant" penyakit dapat kambuh lagi bilamana daya tahan tubuh menurun.
Berdasarkan aktifitas penyakit dikatakan bahwa lesi eksudat, proliferasi (infiltrat), tuberkel, perkejuan, kavitas adalah lesi yang masih aktif sedangkan lesi perkapuran, induratif maupun fibrosis adalah lesi yang klinis sudah tenang.
DIAGNOSTIK TUBERKULOSA PARU
Ditegakkan dengan gejala klinik, gambaran radiologis, pemeriksaan laboratoris dan uji tuberkulin. Selain itu seyogyanya ditentukan pula aktifitas penyakit untuk keperluan penatalaksana- an penyakit ini.
Dengan gejala klinis dimaksudkan bilamana pada anamnese dijumpai batuk, dahak, batuk darah, sesak napas, nyeri dada dan napas bunyi yang berlangsung lama menyertai gejala sistemik berupa panas badan, menggigil, keringat malam, gangguan menstruasi, anoreksia dan berat badan yang menurun dan lemah badan. Fisik dapat ditemukan tanda konsolidasi, adanya kavitas adanya sekret dibronkus kecil, selanjutnya dapat ditemukan pula kelainan kelainan lain berupa penyulit penyakit Tuberkulosa. Pada hakekatnya penampilan klinis adalah bermacam macam, tidak satupun yang sensitif dan spesifik untuk Tuberkulosa, bahkan adakalanya tanpa keluhan dan penampilan ini hanya berguna sebagai petunjuk untuk evaluasi lebih lanjut.
Pemeriksaan radiologis dikatakan lebih peka dari pada gejala klinik, disamping itu berguna untuk menentukan lokasi, luas proses dan kwalitas proses secara lebih akurat tapi tidak dapat menentukan penyebabnya. Walaupun demikian terdapat pula beberapa kelemahan-kelemahan seperti kurang mampunya mengetahui kelainan dari saluran nafas, adanya batas kemampuan deteksi (kelainan kecil yang lunak), adanya daerah buta radiologi (25td_persen dari paru) serta adanya perbedaan pembacaan yang cukup besar dari pembaca satu dengan lainnya. Klasifikasi radiologis Tuberkulosa paru menurut American Thoracic Society dan National Tuberculosis Association, menjadi "minimal, moderatly & far advance" dikatakan lebih bermanfaat kearah penekanan luas proses dan belum mendukung penentuan aktifitas proses penyakit.
Dikatakan gambaran radiologi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kelainan patologi yang ada; dapat dijumpai kelainan-kelainan berupa afek primer, tuberkel, sarang pnemoni (proses eksudatif), selanjutnya perkejuan, cavitas, perkapuran dan induratif serta gambaran proliferatif (infiltratif) beserta fibrosis. Disamping itu dijumpai sifat yang unik dari penyakit ini, dimana kelainan yang klasik untuk Tuberkulosa paru pasca primer ditemukan terutama berlokasi disegmen apikal dan posterior lobus superior atau segmen apikal lobus inferior. Selanjutnya disatu tempat akan didapati bermacam-macam umur proses secara bersama-sama: eksudatif, proliferatif, kavitas dan fibrosis tergantung kronisitasnya.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang adalah pemeriksaan LED, bakteriologi dahak (bila perlu bersamaan dengan evaluasi bronkoskopi) dan cairan tubuh yang lain, serta pemeriksaan serologis IFA, RIA, ELISA dan PAP. Dikatakan pemeriksaan PAP tidak memerlukan peralatan yang canggih, efisien, sensitifitas maupun spesifisitasnya tinggi serta dapat untuk evaluasi aktifitas penyakit.
Uji tuberkulin (Mantoux test) yang positip ( diameter > 10 mm ) dikatakan orang tersebut sedang atau pernah infeksi dengan basil Tuberkulosa. Uji tuberkulin yang positip kuat ( diameter >15 mm ) khususnya untuk orang yang telah mendapatkan BCG harus dicurigai akan adanya infeksi aktif, atau dikatakan mudah menderita Tuberkulosa kronis.
Selain diagnostik tuberkulosa paru, sebaiknya juga ditentukan aktifitas penyakit yang dapat dilakukan secara klinik, radiologis, bakteriologis, laju endap darah dan pemeriksaan serologis.
PENYULIT TUBERKULOSA PARU INTRATORAKAL
Akibat perluasan dan penyebaran proses Tuberkulosa paru, akan ditampilkan keadaan serta gambaran radiologis yang sesuai dengan penyulit penyakit Tuberkulosa paru. Penyulit Tuberkulosa paru dapat ditampilkan berupa bermacam-macam gambaran penyakit paru, demikian pula dalam hal ini gambaran radiologisnya.
Berbeda dengan Tuberkulosa primer, dimana penyulit umumnya diakibatkan oleh penyebaran limfohematogenus dan hematogenus, maka pada Tuberkulosis pasca primer penyulit lebih banyak diakibatkan oleh proses perluasan lokal proses patologis yang mempunyai sifat destruktif, nekrosis dan ulseratif.
Umumnya penyulit Tuberkulosa paru intratorakal dapat diklasifikasikan menjadi penyulit pada saluran napas, penyulit pada parenkim dan penyulit pada selaput plera. Terdapat pula bentuk penyulit khusus seperti batuk darah masif, milier, gangguan sirkulasi dan infeksi sekunder yang sebenarnya adalah bagian dari pada penyulit parenkim.
Beberapa penyulit Tuberkulosa paru dengan angka kejadian yang tersering yang kami dapatkan di ruang rawat tinggal UPF paru RSUD Dr Soetomo:
1. Batuk darah masif. (lihat gambar 3)
Dikatakan bahwa kelainan paru yang dapat menyebabkan penyulit ini adalah adanya kavitas, bronkiektasi dan proses fibrosis. Akan terjadi batuk darah yang masif bilamana terjadi robeknya aneurisma cabang arteria pulmonalis yang disebut Rasmussen's aneurisma yang biasanya didapati pada kavitas berdinding tebal dengan jaringan fibrotik disekitarnya. Batuk darah masif dengan kavitas dikatakan merupakan indikasi untuk operasi, sedang yang lain umumnya dapat diatasi dengan perawatan konservatif.
Pada proses yang sudah tenang, kadang kala batuk darah masif dapat ditimbulkan oleh robeknya jaringan fibrotik atau bronkiektasis yang diakibatkan oleh proses endobronkial Tuberkulosa.
Angka kejadian batuk darah masif, khususnya pada orang dewasa dibagian rawat tinggal paru RS Dr Soetomo adalah 426/932 penderita (45td_persen) dari penderita yang dirawat. (angka kejadian batuk darah pada tuberkulosa paru 5-20td_persen). Angka kematian (biasanya diakibatkan oleh penyumbatan jalan napas besar) adalah 9/426 penderita (2,1td_persen).
Tabel 1. Macam penyulit Tuberkulosa di rawat tinggal UPF Paru RSUD Dr Soetomo 1987.
PENYULIT JUMLAH MENINGGAL
Abses paru 1 -
Atelektase 4 -
Batuk darah 426 9
Brokiektasis 2 -
Korpulmonal 21 6
Destroyed lung 1 -
Efusi pleura 82 5
Empiema 14 1
Fibrosis luas 1 -
Fluidopnemotorak 7 -
Gagal nafas 28 26
Milier 18 1
Pnemonia (termasuk sepsis) 35 22
Pnemotorak 50 6
Shwarte 6 -
* Generalized weakness, extratho-
racal, unclassiffied etc. 242 27
----------- ------
JUMLAH 932 103
* Penyulit ekstratorakal.
- Lesi Tuberkulosa pada pleura.
- Pleuritis eksudatifa (efusi pleura) (lihat gambar 4)
Yaitu terkumpulnya cairan eksudat dalam rongga pleura. Volume dan letaknya bervariasi. Pada jumlah yang sangat minimal akan mengisi daerah posterolateral sinus frenikokostalis; sedangkan pada jumlah yang cukup banyak akan menutupi seluruh lengkung diafragma, meluas keatas dan permukaan cairan membentuk lengkungan yang lebih tinggi dibagian lateral. Pada jumlah yang banyak akan menyebabkan pendorongan jantung dan mediastinum.
Pengelolaan ditujukan untuk mengurangi keluhan, mengobati Tuberkulosa dan mencegah timbulnya penebalan pleura dengan pungsi pleura, anti Tuberkulosa dan kortiko- steroid.
Angka kejadian adalah 82/932 penderita (8,7td_persen) dengan kematian 5 penderita (6,1td_persen). Woodring JH dkk. mendapatkan angka 18td_persen dari 56 kasus yang ditelitinya.
- Empiema torak
Terkumpulnya nanah dalam rongga pleura. Radiologis tak dapat dibedakan dengan efusi pleura. Sering mengalami organisasi dan timbul fibrosis dan pengapuran pleura yang luas (shwarte) juga seringkali ditampilkan dalam bentuk "pocketed". <7,10,15>
Pengobatan adalah mengeluarkan nanah dengan pemasangan kateter torak dan pemberian anti Tuberkulosa.
Angka kejadian adalah 14/932 penderita (1,5td_persen) dengan kematian 1 penderita (7,1td_persen). Woodring JH dkk. mendapatkan angka 4td_persen dari kasus yang ditelitinya. <15>
- Pnemotorak (lihat gambar 5)
Pada penderita Tuberkulosa paru dapat terjadi pneumo- torak spontan akibat destruksi jaringan paru oleh proses patologis. Radiologis tampak bayangan jaringan paru yang kolaps berbatas tegas dengan daerah lusen diluarnya. <2,7>
Pnemotorak dengan luas > 20td_persen akan menimbulkan gangguan faal paru, karenanya udara harus dikeluarkan. Pada penderita Tuberkulosa paru seringkali faal paru telah berkurang hingga pnemotorak kecil sudah dapat menimbulkan keluhan yang berat. <2>
Angka kejadian adalah 50/932 penderita (5,4td_persen) dengan kematian 6 penderita (12td_persen). Woodring JH dkk. mendapatkan angka 5td_persen dari kasus yang ditelitinya. <15>
- Fluidopnemotorak
Dalam hal ini seringkali suatu empiema disertai fistula bronkopleura. Radiologis akan tampak adanya bayangan cairan dalam rongga pleura disertai kolapsnya jaringan paru dengan batas cairan-udara yang datar diluar jaringan paru. <7,10>
Pengelolaannya sama seperti pada empiema disertai pertimbangan tindakan bedah. <2>
Angka kejadian adalah 7/932 penderita (0,75td_persen) dan tak ada kematian dari kelompok ini.
- Shwarte (Penebalan pleura = fibrotorak).
Gambaran radiologis dapat ringan berupa penumpulan sinus kostofrenikus atau luas hingga meliputi seluruh hemi- torak disertai tertariknya organ intratorakal akibat pengerutan jaringan pleura. <7,9,15>
Bila proses shwarte baru terjadi dan disertai dengan gangguan faal paru yang berarti dapat dipertimbangkan tindakan operasi berupa dekortikasi. <9>
Angka kejadian adalah 6/932 penderita (0,64td_persen) tanpa kasus kematian.
- Kelainan pada bronkus (lihat gambar 6 & 7)
Endobronkitis Tuberkulosa atau penekanan kelenjar getah bening akibat Tuberkulosa dapat menyebabkan timbulnya bronkostenosis. Radiologis stenosis yang sifatnya ventil akan menyebabkan pembentukan gambaran emfisema atau bula, disamping itu penyumbatan sebagian akan menyebabkan gangguan drainase sekret hingga mudah timbul infeksi. Sebaliknya bila timbul penyumbatan total dapat menimbulkan gambaran atelektase, fibrosis dan bronkiektasis. Endobronkitis Tuberkulosa yang merusak dinding bronkus, fibrosis jaringan paru secara langsung juga dapat menimbulkan gambaran bronkiektasis. <2,7,10>
Bronkiektasis dapat dijumpai pada proses Tuberkulosa baik yang masih aktif maupun yang sudah tenang. Kadang kadang menimbulkan keluhan batuk darah tetapi biasanya tanpa gejala karena letaknya dilobus superior yang drainasenya baik.
Angka kejadian atelektase adalah 4/932 penderita (0,42td_persen) dan bronkiektasis 2/932 penderita (0,21td_persen).
-
Kelainan proses Tuberkulosa yang luas pada jaringan paru
(lihat gambar 8)
Kelainan jaringan paru seluas satu segmen tidak akan mempengaruhi faal paru tetapi bila sudah mencapai satu lobus atau lebih akan mulai menurunkan kapasitas vital penderita. Radiologis tampak sebagai bercak-bercak proliferatif (infil tratif), eksudatif bercampur proses fibrotik yang dapat disertai adanya kavitas. Bila kerusakan berat dan mengenai satu paru hingga rusak disebut sebagai "destroyed lung".
Manifestasi penyulit yang ditimbulkan disamping sebagai batuk darah adalah berupa "destroyed lung" 1/932 penderita (0,1td_persen), fibrosis luas 1/932 penderita (0,1td_persen) dan adanya gagal nafas 28/932 penderita dengan kematian yang sangat tinggi yaitu 26 orang (92td_persen). Woodring JH dkk mendapatkan jumlah penderita dengan fibrosis yang luas sebanyak 29td_persen.
5. Tuberkulosa milier (lihat gambar 9)
Radiologis kelainan tampak sebagai gambaran nodul milier pada septa alveolokapiler tersebar merata pada kedua jaringan paru. Kelainan ini disebabkan oleh karena penyebaran melalui sirkulasi darah dari proses Tuberkulosa kedalam organ tubuh dalam hal ini paru, berupa tuberkel-tuberkel di- dalam jaringan paru. Akan terjadi gangguan faal paru yang sifatnya restriktif.
Dengan pengobatan yang adekwat kelainan diatas akan sembuh, seringkali tanpa bekas.
Angka kejadian Tuberkulosa milier adalah 18/932 penderita (1,9td_persen) dengan jumlah kematian 1 penderita (5,5td_persen). Woodring JH mendapatkan angka 6td_persen dari 34 penderita dewasa yang ditelitinya.
6. Gangguan sirkulasi
Kelainan ini diakibatkan destruksi jaringan paru terma suk pembuluh darahnya, mengakibatkan timbulnya penyulit PPOM (penyakit paru obstruktif menahun) maupun konstriksi pembuluh darah paru yang pada gilirannya akan timbul hiper- tensi pulmonal dan korpulmonale kronika. Pemeriksaan klinis dan analisa gas darah arteriel penting untuk menilai beratnya kegagalan sistem kardiopulmoner maupun kemajuan hasil pengobatan.
Pengelolaan ditujukan pada faktor-faktor yang masih reversibel seperti mengatasi infeksi, memperbaiki ventilasi alveoler dan hipoksemia, selanjutnya juga memperbaiki hipervo lemia.
Angka kejadian korpulmonale adalah 21/932 penderita (2,25td_persen) dan jumlah kematian sebanyak 6 penderita (28,5td_persen). Woodring JH dkk. tidak mendapatkan penderita dengan penyulit jenis ini dari kasus yang ditelitinya.
7. Infeksi atau infestasi sekunder
Pada keadaan kondisi tubuh yang menurun akibat proses Tuberkulosa yang kronis dapat dengan mudah terjadi infeksi atau infestasi sekunder oleh kuman maupun jamur atau mikro- organisme yang lain.
Manifestasinya adalah berupa gambaran proses konsolidasi yang menyertai Tuberkulosa. Kadang-kadang juga ditemukan didalam kavitas Tuberkulosa paru suatu pertumbuhan dari aspergiloma. Secara radiologis tampak berupa fungus ball. Gejala dapat asimtomatik atau batuk darah.
Penanganan adalah dengan memberikan antibiotika yang adekwat untuk infeksi bakteriel dan operatif untuk aspergilo- ma.
Angka kejadian pnemoni adalah 36/932 penderita (3,8td_persen) dengan jumlah kematian yang cukup tinggi yaitu sejumlah 22 penderita (61td_persen). Woodring JH dkk juga tidak menjumpai penyulit ini dari kasus yang ditelitinya.
RINGKASAN
Tuberkulosa paru adalah "the great imitator disease", penyakit yang dapat memberikan penyulit berbagai macam penyakit paru dan selaputnya. Angka kekerapan di Indonesia masih tinggi.
Perjalanan penyakit Tuberkulosa dapat bersifat akut, subakut dan kronik. Gambaran radiologisnya adalah erat berkaitan dengan gambaran histopatologis yang ada.
Selain ditegakkannya diagnose Tuberkulosa paru beserta derajat kerusakkan yang ditimbulkan dengan macam-macam cara; penting ditentukan pula keaktifan dari proses yang ada, dalam hal ini pemeriksaan radiologi diharapkan dapat ikut menyumbangkan peranannya.
Ternyata penyulit yang paling banyak dijumpai dibangsal UPF Paru RSUD Dr Soetomo tahun 1987, yang menyebabkan penyakit Tuberkulosa dirawat selama periode tersebut, adalah adanya batuk darah (45td_persen), disusul kelainan pleura (17td_persen), sekunder infeksi atau infestasi (3,8td_persen), kelainan proses Tuberkulosa yang luas pada jaringan paru (3,2td_persen), gangguan sirkulasi (2,25td_persen) dan Tuberkulosa milier (1,9td_persen).
DAFTAR ACUAN
- Amin M, Alsagaff H, Saleh T WBM. Tuberkulosa Paru. Dalam: Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press, 1989: 13-35.
- Benyamin Y, Tanuwiharja, Suryadi A. Kelainan Paru Akibat Tuberkulosis. Dalam: Simposium Beberapa Masalah Pengelolaan Rasional Tuberculosa Paru. Bandung, 1986: E1-12.
- Dannenberg AM JR. Pathogenesis of Pulmonary Tuberculosis. Am Rev Respir Dis 1982; 125: 25-9.
-
Djojopranoto M. Radang. Dalam: Patologi. Surabaya: PN Gita Karya,
1963: 25. - Handoyo I. Uji Peroksidase-Anti-Peroksidase Pada Penyakit Tuberkulosis Paru. Surabaya, 1988. 213 hal. Disertasi.
- Handoyo RA. Kedudukan Imunologis Kasus Individual Pada Pelbagai Keadaan Sesudah Kontak Dengan M. Tuberkulosis. Medika 1984; 775-80.
- Meschan I, Meschan RMF. Poorly Defined Homogeneous Shadows of the Lung Parenchyma. In: Roentgen Signs in Diagnostic Imaging. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 1987: 426-35.
- Netter FH. Tuberculosis. In: Diverti MB, Brass A. eds. Respiratory System. Summit NJ, 1979: 199-207.8.
- Pare JAP, Fraser RG. Roentgenologic Signs in the Diagnosis of Chest Disease. In: Synopsis of Disease of the Chest. 1st ed. Tokyo: Igaku-shoin/Saunders, 1985: 164-234.
- Pare JAP, Fraser RG. Mycobacterial Infections of the Lung. In: Synopsis of Disease of the Chest. 1st ed. Tokyo: Igaku-shoin/Saunders, 1985: 288-301.
- Rai IB. Diagnostik Tuberkulosa Paru. Dalam: Forum Diskusi Tuberkulosa Paru. Surabaya, 1988: 1-9.
- Rai IB, Wibisono MY. Sebab Kematian Pada Tuberkulosa Paru. Dalam: Konggres Nasional II IDPI. Surabaya, 1980: 178-83.
- Santoso G. Diagnostic Approach of Tuberculosis in Children. In: Sarwono E. eds. Continuing Education IKA. Surabaya, 1982: 4-17.
- Widjaja A. Batuk Darah. Dalam Kursus Boerhave-Ikatan Alumni FK Unair Kalsel. Banjarmasin, 1989: 24.
- Woodring JH, Vandiviere HM, Fried AM et al. The Radiographic Feature of Pulmonary Tuberculosis. AJR 1986; 146: 497-506.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kata kunci : spesialis paru malang, dokter spesialis paru malang, dokter paru malang, sp paru malang, ahli paru malang, spesialis paru di malang, dokter spesialis paru di malang, dokter paru di malang, sp paru di malang, ahli paru di malang, spp malang, spp di malang, dokter paru terbaik malang, dokter paru terbaik di malang, dokter paru senior malang, dokter paru senior di malang, dokter paru bagus malang, dokter paru bagus di malang, dokter paru terbagus malang, dokter paru terbagus di malang, dokter paru terbaik malang, dokter paru terbaik di malang, dokter ahli paru di malang, pulmonologi malang, dokter paru, spesialis paru, ahli paru, dokter spesialis paru, respirologi malang, respirology malang, pulmonology malang
PRAKTEK