
PERANAN BIOPSI ASPIRASI TRANSBRONKIAL SEBAGAI SARANA DIAGNOSTIK DAN PENDERAJATAN TUMOR GANAS PARU.
- Judul Penelitian:
PERANAN BIOPSI ASPIRASI TRANSBRONKIAL
SEBAGAI SARANA DIAGNOSTIK
DAN PENDERAJATAN TUMOR GANAS PARU.
- Ruang lingkup penelitian:
Penelitian terapan dibidang diagnostik paru.
- Latar belakang penelitian:
Angka kekerapan dan kematian karena Tumor Ganas Paru (selanjutnya disingkat TGP), dalam hal ini Karsinoma Bronkogenik, terus meningkat dari tahun ketahun. Untuk mengatasi hal tsb. selain usaha-usaha pencegahan, juga ditekankan diagnose dini serta pengobatan yang terarah. Akibatnya prosedur diag-nostik serta klasifikasi klinis/penderajatan TGP harus diusahakan seakurat mungkin agar pengelolaan penderita bisa dikatakan memadai. Disepakati pembedahan adalah merupakan modalitas pengobatan yang utama, kecuali untuk TGP jenis sel ke-cil.
Dengan pemeriksaan sitopatologi sputum diperoleh angka kepositipan ganas yang cukup tinggi, walaupun demikian ternyata pula di pusat pendidikan seperti Surabaya dan Jakarta, masih dijumpai sekitar 40td_persen kasus TGP dimana diagnose dite-gakkan tanpa kepastian klasifikasi sel. Pada waktu diketemukan sebagian besar TGP berada dalam keadaan lanjut hingga tak dapat lagi dilakukan pembedahan secara tuntas. Ternyata pula dari 30-40td_persen penderita TGP yang diperkirakan masih dapat dilakukan pembedahan secara tuntas, sudah menunjukkan penyebaran mediastinum.
Biopsi aspirasi transbronkial (BAT) diharapkan dapat menyumbangkan peranannya sebagai salah satu sarana pengembangan dalam diagnostik maupun penderajatan TGP.
-
Tinjauan pustaka
- Anatomi sistem limfatik paru dalam hubungannya dengan anak sebar dari TGP
Kelenjar getah bening (selanjutnya disebut kelenjar saja) didalam rongga dada dibagi dalam 3 kelompok besar:
a. Kelompok kelenjar mediastinum anterior.
b. Kelompok kelenjar mediastinum posterior.
c. Kelompok kelenjar mediastinum media.
Kelompok kelenjar mediastinum media merupakan kelompok kelenjar getah bening terpenting, yang erat hubungannya dengan sistem limfatik paru. Diawali dengan saluran dibawah pleura viseralis, septa-septa, perivenus, peribronkial menuju kelenjar bronkopulmoner didaerah hilus, sebagian ke kelenjar subkarina dibawah bifurkasio trakea, selanjutnya ke kelenjar trakeobronkial & paratrakeal dikanan kiri trakea. Dalam jumlah yang sangat terbatas dijumpai aliran limfe yang tak melalui kelenjar bronkopulmoner dan kelenjar subkarina langsung menuju kelenjar trakeobronkial & paratrakeal keproksimal, khususnya paru bagian atas. Dari kelenjar paratrakeal cairan limfe mengalir melalui duktus limfatikus (sisi kiri) dan duktus torasikus (sisi kanan) dan selanjutnya melalui trunkus bronkomediastinalis kanan dan kiri kesirkulasi darah. Selain trunkus bronkomediastinalis masih terdapat trunkus subklavia yang berasal dari daerah lengan dan trunkus jugularis dari kepala dan leher. Ketiga trunkus secara bersama-sama masuk kesistem venus. Kelenjar skalenus (servikalis profundus inferior) yang terletak dekat muara trunkus jugularis dianulus venosus, dikatakan juga menerima kolateral dari trunkus bronkomediastinalis hingga pada proses metastase TGP seringkali dikatakan kelenjar yang mudah dicapai dari permukaan tubuh ini ikut mengandung anak sebar.
Rouviere's treatise mengatakan bahwa aliran limfe paru kanan menuju proksimal melalui jalur sesisi. Aliran limfe paru kiri atas menuju proksimal juga melalui jalur sesisi, sedangkan dari paru kiri bawah melalui jalur menyilang dimediastinum (fenomena "crossover") akhirnya tiba diduktus limfatikus dekstra. Dari sistem limfatik paru yang komplek ini tampak bahwa kelenjar subkarina, yang berada didaerah persilangan, menerima sebagian terbesar dari aliran limfe jaringan paru baik sisi kanan maupun kiri. Dilain pihak kelenjar skalenus kanan menerima aliran limfe dari paru sisi kanan dan paru sisi kiri bawah sedangkan kelenjar skalenus kiri hanya menerima dari bagian atas paru kiri. Pendapat terakhir menyebutkan bahwa fenomena "crossover" sulit untuk dipertahankan, walaupun disepakati bahwa kelenjar subkarina tetap menerima sebagian besar cairan limfe kedua paru.
4.2. Tumor Ganas Paru (TGP) - Karsinoma Bronkogenik
Karsinoma Bronkogenik, adalah merupakan Tumor Ganas Paru primer yang terbanyak dijumpai yaitu meliputi 95td_persen dari seluruh Tumor Ganas Paru primer. Karenanya sebutan Tumor Ganas Paru (selanjutnya disebut TGP) dalam pembicaraan berikut dimaksudkan adalah Karsinoma Bronkogenik. Dinegera maju angka kejadian TGP akhir-akhir ini meningkat dengan pesat dan merupakan pembunuh utama pada pria. Di Indonesia angka kejadian TGP sesungguhnya belum diketahui, karena pencatatan TGP dalam arti yang sebenarnya belum terlaksana dengan baik. Diperkirakan angka TGP antara 0,5td_persen-1,2td_persen dari seluruh keganasan yang ada dan bervariasi dari tidak termasuk 10 tumor terbanyak sampai merupakan salah satu keganasan yang tersering dijumpai, sedangkan pada pria dari urutan ke III hingga tempat teratas.
Diagnostik standard TGP disusun dengan tujuan antara lain untuk menegakkan diagnose paru dan menentukan penderajatan paru secara seragam. Kerangka prosedur diagnostik standard TGP meliputi:
- Penjaringan, yang ditujukan pada penderita dengan resiko tinggi untuk TGP, meliputi: laki-laki, umur > 40 tahun, perokok berat, pekerja yang berhubungan dengan asbestos, uranium, nikel dsb., dan mempunyai gejala klinik: batuk darah, penurunan berat badan > 4 kilogram/6 bulan, stridor unilateral, batuk hebat serta batuk lama atau batuk rokok. Selanjutnya dilakukan dua pemeriksaan yang saling menunjang yaitu pemeriksaan sitopatologi dan foto toraks. Sitopatologi dikatakan lebih peka untuk TGP yang letaknya sentral, sedangkan foto toraks dikatakan lebih peka untuk TGP yang letaknya perifer. Interval penjaringan dianjurkan tiap 6 bulan sekali.
- Tindakan diagnostik lebih lanjut; meliputi endoskopi, bronkografi, tomografi dan pemeriksaan CT, biopsi, mediastinoskopi, imunologi dan petanda biokimia.
Menurut WHO 1980, terdapat empat macam klasifikasi sel TGP yang diakui secara internasional yakni:
- Karsinoma epidermoid (squamous cell carcinoma); angka kejadian + 44td_persen TGP, cenderung disentral, pertumbuhan dan pembentukan anak sebar relatif lambat, biasanya melalui aliran limfe kekelenjar hilus, cukup sering dapat dilakukan reseksi paru.
-
Karsinoma anaplastik sel kecil (small cell carcinoma); angka kejadian
+ 19td_persen TGP, awalnya disentral tapi metastase cepat terjadi, pertumbuhan dan pembentukan anak sebar amat cepat yaitu melalui aliran limfe kekelenjar mediastinum atau ketempat yang jauh, hampir tak pernah dapat dilakukan reseksi paru. - Adenokarsinoma (adenocarcinoma); angka kejadian + 21td_persen TGP, satu satunya jenis dengan frekwensi hampir berimbang antara pria dan wanita, biasanya terletak diperifer, satu-satunya TGP yang jarang dikaitkan dengan merokok, pertumbuhan maupun pembentukan anak sebar sedang, jarang dapat dilakukan reseksi paru.
- Karsinoma anaplastik sel besar (large cell undifferentiated carcinoma); angka kejadian 16td_persen, dapat terletak ditepi maupun disentral, pertumbuhan maupun pembentukan anak sebar cepat, jarang dapat dilakukan reseksi paru.
Pada kenyataannya penggunaan istilah-istilah ini di Indonesia masih kurang seragam, masih sering digunakan istilah "undifferentiated epidermoid carcinoma, adenocarcinoma anaplastic & undifferentiated/anaplastik". Masih cukup sering pula dijumpai diagnostik TGP berdasarkan hanya dari adanya sel ganas pada pemeriksaan sitopatologi tanpa disertai adanya klasifikasi sel ganas. Pada klasifikasi WHO 1987, dimasukkan pula kelompok karsinoid dan mesotelioma yang masing-masing berasal dari sel sistem APUD dan jaringan pleura.
Aspek pengobatan TGP dibagi menjadi dua kelompok; bukan karsinoma anaplastik sel kecil dimana modalitas pengobatan utama untuk stadium I dan II adalah pembedahan yaitu reseksi paru, sedangkan pada karsinoma anaplastik sel kecil sebaiknya dilakukan terapi kombinasi radioterapi dan kemo-terapi.
4.3. Diagnostik TGP
Tujuan utama diagnostik TGP adalah menentukan jenis klasifikasi sel, baik dari bahan sitopatologi maupun bahan his-topatologi. Setelah pemeriksaan jasmani dan laboratorium rutin dikerjakan, langkah-langkah diagnostik yang perlu dilakukan ialah:
- Pemeriksaan radiologis: foto toraks, PA dan lateral.
- Pemeriksaan sitohistopatologi, meliputi:
- Dahak, diperiksa 3 hari berturut-turut. Penderita diberi petunjuk cara mengeluarkan dahak yang benar.
- Biopsi, sikatan bronkus, bilasan bronkus serta bahan aspirat melalui pemeriksaan bronkoskopi serat optik.
- Cairan plera, biopsi plera, biopsi transbronkial dll.
Dari ad 1 dan 2 yang rutin dikerjakan di RSUD dr.Soetomo ternyata secara keseluruhan dapat dihasilkan angka positip ganas sebesar 70td_persen, tetapi 42-44,14td_persen dari padanya tanpa didukung hasil histopatologi.
- Pemeriksaan bronkoskopi.
Selain melihat tumor secara langsung serta kelainan bronkus yang menyertai, pengambilan bahan sitohistopatologi; pemeriksaan ini juga dapat dipakai menentukan penderajatan dari T maupun N. Letak tumor yang kecil dan tidak begitu sentral kadang-kadang memerlukan bronkografi lebih dahulu sebelum dilakukan pemeriksaan bronkoskopi yang lebih terarah.
- Biopsi aspirasi transtorakal.
Dilakukan untuk tumor yang perifer letaknya.
- Pembedahan eksplorasi kadang-kadang diperlukan untuk kasus tertentu yang dengan pemeriksaan lain dalam waktu 2 minggu tidak diperoleh kepastian diagnostiknya.
4.4. Penderajatan TGP
Berdasarkan revisi yang terakhir, yaitu revisi ke IV klasifikasi TNM 1987, maka TNM bedah (sTNM) telah dihapus dan digabungkan kedalam TNM klinik (cTNM). cTNM (selanjutnya disebut TNM saja) didasarkan pada keadaan sebelum memperoleh pengobatan, dan pembedahan eksplorasi tidaklah digolongkan kedalam pengobatan. Selanjutnya pTNM masih dipakai; sedangkan yTNM, rTNM dan kategori faktor C dipakai bila sesuai. Maka klasifikasi TNM 1987 untuk TGP jenis bukan sel kecil adalah sbb:
Occult carcinoma Tx, No, Mo
Stage 0 Tis, No, Mo
Stage I T1, No, Mo
T2, No, Mo
Stage II T1, N1, Mo
T2, N1, Mo
Stage IIIA T1, N2, Mo
T2, N2, Mo
T3, No,1,2 Mo
Stage IIIB AnyT, N3, Mo
T4, AnyN, Mo
Stage IV AnyT, AnyN, M1
Dimana Tx adalah sito(histo)patologi positip, T1 < 3 cm, T2 > 3 cm atau meluas kedaerah hilus/kepleura viseralis/atelektase partial. T3 dinding dada, diafragma, perikard, pleura mediastinalis dll., atelektase total. T4 mediastinum, jantung, pembuluh darah besar, trakea, osofagus, dll., efusi maligna. N1 peribronkial, hilus ipsilateral. N2 Mediastinal ipsilateral. N3 mediastinal kontralateral, skalen atau supraklavikuler. Mx adanya metastase jauh tak dapat dinilai, Mo tak ada metastase jauh, M1 metastase jauh. Prosedur mendapatkan kategori cTNM adalah dengan pemeriksaan fisik, radiologis, endoskopi dan/atau pembedahan eksplorasi.
Untuk karsinoma sel kecil digunakan klasifikasi menurut "limited" dan "ekstensif". Sedangkan "performance status" memakai klasifikasi menurut Karnofsky atau Swiss Group.
Pada penderajatan menurut TNM perlu diperhatikan:
- Letak tumor didalam bronkus yang tampak dengan pemeriksaan bronkoskopi. Bila jarak tumor dari karina utama (main carina) kurang dari 2 cm, maka tumor sudah masuk kedalam kategori T3, dan derajat tumor minimal adalah stadium III.
- Pemeriksaan histopatologi bahan biopsi dari jaringan mukosa dan submukosa karina (Biopsi karina) dikatakan juga dapat membantu diagnostik maupun penderajatan yang lebih tepat, karena adanya penyebaran kelompok sel ganas dapat melalui saluran limfe submukosa bronkus.
- Keterlibatan kelenjar mediastinum. Dapat ditentukan deng-an pemeriksaan tomogram hilus posisi oblik (Oblique Hilar Tomography=OHT) atau pemeriksaan CT. Ditempat dengan fasilitas lengkap lebih dianjurkan memakai pemeriksaan CT. Mediastinoskopi juga digunakan untuk mengetahui adanya keterlibatan kelenjar mediastinum pada keadaan tertentu hingga tindakan pembedahan yang tak bermanfaat dapat dihindarkan.
- Biopsi kelenjar skalen, sebagai sarana penderajatan, menunjukkan telah mencapai N3, berarti minimal stadium IIIB yaitu stadium dimana operasi tuntas tidak memungkinkan lagi.
4.5. Biopsi Aspirasi Transbronkial
Biopsi Aspirasi Transbronkial (BAT) melalui bronkoskopi telah dipergunakan sekitar tahun 1978 dan prosedur ini telah memungkinkan kita untuk mengadakan evaluasi kelenjar-kelenjar mediastinal dalam kaitan dengan adanya anak sebar dari TGP, karenanya dapat bermanfaat baik untuk diagnostik maupun penderajatan TGP. Kelenjar mediastinal yang dapat diperiksa melalui cara ini adalah: kelenjar paratrakea, kelenjar subkarina, kelenjar di celah aortopulmonal, jaringan periboronkial dan lain-lain. Pada pembicaraan ini hanya dibatasi BAT untuk kelenjar subkarina, yang dianggap terpenting karena letaknya terdepan, serta merupakan tempat persilangan dari aliran limfe paru. Lagipula pelaksanaannya tidak sulit dengan efek samping yang minimal.
Untuk melakukan BAT haruslah dikuasai batas-batas struktur endobronkial saluran napas dan anatomi struktur-struktur yang ada dimediastinum. Pada BAT kelenjar subkarina, lokasi tusukan jarum biopsi adalah disebelah kanan karina didinding belakang trakea. Ini disebabkan karena dinding belakang saluran napas relatif lebih tipis dan untuk menghindari aorta dan esofagus yang terletak berbatasan dengan dinding depan trakea. Ujung jarum sepanjang 1,2 cm biasanya tidak mencapai struktur pembuluh darah pada tempat tempat yang sudah ditentukan.
BAT dapat dikerjakan melalui bronkoskopi serat optik maupun bronkoskopi kaku. Dengan bronkoskopi kaku dapat diperoleh sediaan BAT berupa sitohistopatologi, hingga didapatkan efek diagnostik yang lebih baik untuk anak sebar TGP dikelenjar mediastinal maupun untuk diagnostik limfoma dan penyakit granulomatus. Dengan bronkoskopi serat optik akan diperoleh sediaan BAT berupa sitopatologi (jarang sitohistopatologi) karena jarum yang digunakan mempunyai diameter yang kecil, tetapi ini telah cukup baik untuk dapat dipakai sebagai sarana diagnostik maupun penderajatan TGP. Masalah tehnis lain dari bronkoskopi serat optik adalah diperlukannya jarum yang fleksibel tapi cukup kuat untuk menembus dinding saluran napas, hal ini telah dapat diatasi dengan menggunakan mandrin khusus. Itulah sebabnya BAT dengan bronkoskopi kaku hanya dimanfaatkan untuk prosedur cadangan, serta bila terjadi komplikasi karena keandalan fungsi terapeutisnya. Pada bronkoskopi serat optik pelaksanaan BAT harus dilakukan sebelum manipulasi pada parenkim atau kelainan endobronkial dikerjakan.
Dengan adanya bronkoskopi serat optik, lesi endobronkial sampai tingkat subsegmen dapat dilihat secara langsung dan diadakan biopsi. Tumor yang lebih perifer dapat dievaluasi dengan biopsi maupun sikatan bronkus melalui tuntunan fluoroskopi. Bila dengan bronkoskopi tak didapatkan kelainan atau hasil sitohistopatologi belum jelas; dikatakan BAT kelenjar mediastinal, khususnya kelenjar subkarina, merupakan sarana pilihan yang kurang invasif tetapi memiliki sensitifitas dan spesifisitas tinggi untuk diagnostik.
Dengan dilaksanakannya tindakan BAT pada waktu pelaksanaan bronkoskopi untuk TGP, maka sekaligus dapat ditentukan ada atau tidak adanya anak sebar TGP dikelenjar mediastinal (status N) dan luasnya kelainan endobronkial (status T) untuk penderajatan. Perlu diingat bahwa keadaan saluran napas yang tampaknya normal tidak menjamin bebasnya jaringan sekitar terhadap anak sebar TGP (mikrometastase). BAT dikatakan dapat memberikan hasil yang akurat serta aman. Dibandingkan dengan teknik penderajatan secara foto toraks, BAT dikatakan lebih baik, apalagi dengan kemampuannya untuk memberikan keterangan sito(histo)patologi dari anak sebar tumor tersebut. Pemeriksaan CT walaupun dikatakan lebih baik dari pada foto toraks ternyata akurasi dan spesifisitas masih lebih rendah hanya sensitifitasnya sedikit lebih tinggi dari pada BAT. Gabungan pemeriksaan CT dengan BAT serta perhatian khusus terhadap kasus individual akan memberikan hasil yang optimal. Dengan BAT seringkali dapat dihindarkan pemeriksaan yang lebih invasif. Dinyatakan pula bahwa pembuatan preparat sito(histo)patologi dan interpretasi hasilnya harus baik, hingga untuk itu diperlukan kerja sama dengan laboratorium patologi anatomi yang sesuai dan dapat dipercaya.
Selain manfaat untuk sarana diagnostik dan penderajatan TGP, BAT dapat digunakan juga untuk mengadakan evaluasi pengobatan khususnya TGP jenis karsinoma sel kecil. Disamping evaluasi lesi primer, dapat pula dilakukan evaluasi anak sebarnya pada kelenjar mediastinal.
Komplikasi BAT yang pernah didapatkan walaupun jarang adalah terjadinya pneumotoraks, pneumomediastinum dan perdarahan kecil yang mudah diatasi. Sangat jarang terjadi perdarahan yang berat. Walaupun demikian pernah disebut kematian akibat hipoksia, aritmia jantung, toksisitas anestesi lokal serta bronkospasme hebat.
4.6. Biopsi kelenjar skalen
Seperti telah diuraikan diatas bahwa kelenjar skalen adalah kelenjar getah bening dalam urutan berikutnya setelah kelenjar mediastinal dalam proses perluasan anak sebar TGP. Sesuai dengan penderajatan TNM 1987 dimana proses anak sebar TGP yang telah mencapai kelenjar ini digolongkan dalam penderajatan N3 dan diklasifikasikan sebagai stadium IIIB, maka nilainya akan ketinggalan bila dibandingkan dengan BAT kelenjar subkarina. Hanya saja berhubung lokasi dari kelenjar skalen yang relatif mudah dicapai dan tindakan biopsi kelenjar skalen ini jarang menimbulkan komplikasi maka dibeberapa klinik masih dipergunakan.
Daftar Pustaka
- Alsagaff H. Peranan Aspirasi Sekret Melalui Bronkoskopi Serat Optik Untuk Memperoleh Sediaan Sitologi Kanker Paru. PARU 1988; 8:6-12.
- Anonim. Rekaman Diskusi dan Kesimpulan diskusi. Dalam Yusuf A, Aditama TY, Giriputro S. eds. Penyeragaman Penatalaksanaan Kanker Paru. Jakarta: Pertemuan Ilmiah Tahunan I, 1984: 58-78.
-
Brantigan JW, Brantigan CO, Brantigan OC. Biopsy of Nonpalpable Scalene Lymph Nodes in Carcinoma of the Lung. Am Rev Respir Dis 1973;
107: 962-74. - Blair CR, Geer FG. Scalene Node Biopsy. JAMA 1961; 4: 101-6.
- Carr DT, Mountain CF. Staging Lung Cancer. In: Straus MJ. eds. Lung Cancer Clinical Diagnosis and Treatment. New York: Grune & Stratton Inc, 1983: 201-12.
-
Felisati D, Bianchi C, Giobbi A, Sabolla L. Scalene Node Biopsy in Diagnosis of intrathoracic Disease. Ann Otol Rhinol Laryngol 1984;
93: 187-8. - Ferguson AD. Lung biopsy. In: Flenley DC, Lane DJ. eds. International Medicine. Oxford OXI IBL: Medical Education Ltd, 1982: 1024-5.
- Hakim T. Aspek Bedah pada Kanker Paru. Dalam: Yusuf A, Aditama TY, Giriputro S. eds. Penyeragaman Penatalaksanaan Kanker Paru. Jakarta: Pertemuan Ilmiah Tahunan I, 1984: 28-32.
- Handoyo P. Penderajatan Kanker Paru. Dalam: Yusuf A, Aditama TY, Giriputro S. eds. Penyeragaman Penatalaksa Penatalaksanaan Kanker Paru. Jakarta: Pertemuan Ilmiah Tahunan I, 1984: 14-27.
- Hermanek P, Sobin LH. Lung Tumours. In: TNM Classification of Malignant Tumours. Munich: International Union Against Cancer Geneva, 1987: 69-73.
- Hoogstraten B. Preface. In: Hoogstraten B, Addis BJ, Hansen HH, Martini N, Spiro SG, eds. Current Treatment of Cancer, Lung Tumors. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag, 1988: IX-XI.
- Juliati HA. Kegunaan Pemeriksaan Sitologi Imprin, Tehnik Media Plastik, Imunohistokimia dan Mikroskop Elektron Dalam Diagnosa dan Klasifikasi Kanker Paru. Surabaya: Universitas Airlangga, 1988. Disertasi.
- Jusuf A. Kanker Paru di Indonesia. PARU 1983; 3: 211-20.
- Margono B, Dwidjo S. Diagnostic Standard Kanker Paru. Dalam: Yusuf A, Aditama TY, Giriputro S. eds. Penyeragaman Penatalaksanaan Kanker Paru. Jakarta: Pertemuan Ilmiah Tahunan I, 1984: 1-13.
-
Marsh BR, Wang KP. Bronchoscopy. In: Straus MJ. eds. Lung Cancer Clinical Diagnosis and Treatment. New York: Grune & Stratton Inc,
1983: 127-34. - Montgomery WW. Diagnosis of a cervical mass. Surgery of the Respiratory System. Philadelphia: Lea & Febiger, 1973: 75-87.
-
Mulder GA. Diagnostic Procedures in Lung Cancer. Chest 1977; 71:
629-30. -
Netter FH. Bronchogenic Carcinoma. In: Divertie MB, Brass A, eds. Respiratory System. Summit, N.J.: Ciba Pharmaceutical Company,
1979: 158-67. - Netter FH. Lymphatic drainage of Lungs and Pleura. In: Divertie MB, Brass A, eds. Respiratory System. Summit, N.J.: Ciba Pharmaceutical Company, 1979: 32-3.
- Paff GH. Lymph Nodes and Lymphatics of Head and Neck. Anatomy of the head and neck. Philadelphia: W.B. Saunders Co, 1973: 221-228.
- Pare JAP, Fraser RG. The lymphatic system. In: Synopsis of Disease of The Chest. Tokyo: Igaku-Shoin/Saunders, 1985: 67-72.
- Peters RM. Staging of Lung Cancer. Chest 1977; 71: 633-4.
- Robbins HM, Morrison DA, Sweet ME, Solomon DA, Goldman AL. Biopsy of the Main Carina. Chest 1979; 75: 484-6.
- Saleh T-WBM. Penatalaksanaan Kanker Paru. In: Soebandiri, Budisantosa M, Santoso GH dkk., eds. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Surabaya 1988; II; 85-107.
- Saltzstein SL, Harell JH, Cameron TRN. Brushings, Washings or Biopsy ? Obtaining Maximum Value from Flexible Fiberoptic Bronchoscopy in the Diagnosis of Cancer. Chest 1977; 71: 632-3.
- Skarin AT. Respiratory Tract and Head and Neck Cancer. In: Rubenstein E, Federman DD. eds. Scientific American Medicine. New York: Scientific American Inc, 1987: VI-1-13.
-
Wang KP, Brower R, Haponik EF, Siegelman S. Flexible Transbronchial Needle Aspiration for Staging of Bronchogenic Carcinoma. Chest 1983;
84: 571-6. - Wang KP, Fishman EK, Britt EJ, Siegelman SS, Haponik EF, Erozan YS. Rigid Transbronchial Needle Aspiration Biopsy For Histological Specimens. Ann Otol Rhinol Laryngol 1985; 94: 382-5.
- Wang KP, Gupta PK, Haponik EF, Erozan YS. Flexible Transbronchial Needle Aspiration. Technical Considerations. Ann Otol Rhinol Laryngol 1984; 93: 233-6.
- Wang KP, Marsh BR, Summer WR, Terry PB, Erozan YS, Baker RR. Transbronchial Needle Aspiration for Diagnosis of Lung Cancer. Chest 1981; 80: 48-50.
- Wang KP, Terry PB. Transbronchial Needle Aspiration in the Diagnosis and Staging of Bronchogenic Carcinoma. Am Rev Respir Dis 1983; 127: 344-7.
- Wright FW. Lymphatic Drainage of the Lung and Thorax. In: Butterworth. eds. The Radiological Diagnosis of Lung and Mediastinal Tumors. London: William Clowes & Sons Limited, 1973 : 184-7.
- Permasalahan
Adanya keterbatasan dari hasil pemeriksaan untuk diagnostik maupun penderajatan TGP sbb:
- Terbatasnya hasil pemeriksaan sito(histo) patologi dahak maupun bahan-bahan yang diperoleh dari BSO dalam diagnostik TGP (70td_persen).
- Terbatasnya hasil klasifikasi sel TGP dari penderita dengan pemeriksaan sitopatologi (+) (42-44,14td_persen).
- Terbatasnya kemampuan dalam mendeteksi penyebaran mediastinal dari TGP, kecuali dengan alat yang canggih (CT scan) maupun invasif (madiastinoskopi, mediastinostomi).
- Adanya keterbatasan peran biopsi kelenjar skalen dalam penderajatan TGP.
- Maksud dan Tujuan penelitian
Tujuan umum:
Meningkatkan kecermatan diagnostik dan penderajatan TGP dengan pengembangan sarana diagnostik yang sudah ada.
Tujuan khusus:
Mengetahui seberapa besar peran biopsi aspirasi transbronkial, khususnya untuk kelenjar subkarina, dalam diagnostik maupun penderajatan TGP.
- Hipotesa
Peranan biopsi aspirasi transbronkial kelenjar subkarina dalam diagnostik maupun penderajatan pada TGP, adalah lebih bermanfaat dibanding dengan sarana diagnostik standard yang sudah ada (pemeriksaan radiografis, dahak & bronkoskopi serat optik serta bahan-bahan yang dapat diperolehnya maupun biopsi kelenjar skalenus).
- Metodologi Penelitian
DESAIN PENELITIAN:
Penelitian eksperimental, cross sectional, prospektif.
BAHAN PENELITIAN
Penderita dengan TGP atau kemungkinan TGP yang dimasukkan dalam penelitian adalah penderita yang dilakukan pemeriksaan di OK Paru RSUD Dr Soetomo periode 1 Januari 1989 hingga 1 Januari 1990, berdasarkan hasil pemeriksaan X foto toraks dan hasil pemeriksaan sputum & bronkoskopi serat optik sebagai berikut:
Kelompok I. Diagnostik: Terdapat kelainan mediastinum dengan atau tanpa disertai kelainan paru yang pemeriksaan sitohistopatologinya (-).
Penderita yang diikutkan adalah yang telah mengalami sekali atau lebih pemeriksaan BSO; termasuk pemeriksaan sikatan, biopsi, bilasan dan aspirasi sekret bronkus serta dahak dengan hasil (-). Semua penderita mempunyai kelainan mediastinal pada X foto torak PA maupun pada pemeriksaan CT (kasus tertentu), umumnya tampak gambaran mass diparu.
Juga dimasukkan disini penderita yang selama pemeriksaan BAT, sitohistopatologi dari lesi primer menunjukkan (-).
Kelompok II. Penderajatan: Kelainan paru dengan sitohis-topatologi (+) dengan atau tanpa kelainan mediastinum.
Penderita yang masuk dalam kelompok ini adalah penderita dengan kelainan paru dan pemeriksaan sitohistopatologi (+), dan sedang dalam evaluasi penderajatan TGP.
Juga dimasukkan disini penderita dengan kelainan paru dan pemeriksaan sitohistopatologi (-), tapi ketika dilakukan pemeriksaan BAT, sitohistopatologi lesi primer menunjukkan (+).
Biopsi kelenjar skalen dikerjakan pada penderita dari kedua kelompok diatas yang kelenjar skalennya teraba.
CARA PENELITIAN
Biopsi Aspirasi Transbronkial.
Peralatan
Digunakan BSO merk Olympus BF-5B (Olympus Corp. of America, New Hyde Park, NY). Jarum fleksibel yang digunakan mempunyai panjang 120 cm dan terdiri dari 2 bagian, bagian dalam mandrin dan bagian luar selubung polietilen semitranslusen dengan ujung jarum 21 gauge.
Untuk penderita yang gagal, baik dalam pelaksanaan maupun tidak diperoleh hasilnya, digunakan Bronkoskopi kaku merk Pilling (George P. Pilling Co, Fort Washington, Pa) 8 mm x 40 cm. Teleskop bronkoskopi merk Storz (Karl Storz Endoscopy-America, Inc, Los Angeles, Calif) untuk memeriksa dan menentukan lokasi tusukan jarum biopsi. Jarum yang dipakai adalah ukuran 18 gauge untuk aspirasi dan ukuran 20 gauge untuk tes aspirasi. Juga terdapat mandrin untuk mencegah tersumbatnya jarum oleh jaringan dinding saluran napas.
Persiapan
Sebagaimana layaknya tindakan biopsi dan bronkoskopi, dilakukan pemeriksaan faal hemostasis, faal paru serta pemeriksaan kardiologi sebelum dilakukan pemeriksaan BAT.
Tehnik
Umumnya digunakan lokal anestesi, kemudian pemasangan BSO dilakukan melalui "mouth piece" yang dikenakan dimulut. BSO diletakan pada posisi didaerah karina yang akan ditusuk. Aspirasi kelenjar karina dikerjakan dengan menusukkan jarum biopsi disisi kanan karina dinding belakang. Jarum dimasukkan kedalam saluran BSO hingga jarum menonjol keluar dari ujung saluran BSO. Selama itu mandrin yang ujungnya bulat terletak agak menonjol keluar dari ujung jarum. Ketika ujung jarum telah tampak melalui teleskop BSO, mandrin ditarik sedikit hingga terletak dalam lubang jarum, ini penting untuk membuat jarum serta selubung polietilen cukup kaku untuk menembus dinding bronkus. Selanjutnya ujung BSO didorong sedekat mungkin dengan sasaran, dalam posisi sedapat mungkin tegak lurus, dan selubung polietilen dengan ujung jarum ditusukkan dengan gerakan cepat. Mandrin ditarik keluar dan tabung penghisap yang diisi salin 3-5 cc dikenakan pada selubung polietilen. Setelah dilakukan penghisapan dan 2-3 kali tusukan pada tempat biopsi hingga diperoleh bahan didalam selubung polietilen maka jarum ditarik keluar dan bahan dimasukkan kedalam botol untuk diperiksa sito(histo)patologinya. BAT selalu dikerjakan lebih dahulu daripada evaluasi lesi primernya. Pemeriksaan sitohistopatologi dari bahan lesi primer dikirim terpisah dari bahan BATnya.
Pada BAT dengan bronkoskopi kaku; setelah alat terletak pada lokasi yang dikehendaki, dilakukan lebih dahulu tes aspirasi dengan jarum ukuran 20 gauge. Bila dipastikan tidak ada darah yang keluar, lampu penuntun dikeluarkan dan jarum biopsi dimasukkan menuju daerah sasaran. Dengan mandrin tetap menonjol keluar dari jarum, alat ini ditusukkan secara keseluruhan hingga mandrin masuk keseluruhan serta jarum masuk + 1 cm kedalam dinding saluran napas. Selanjutnya mandrin ditarik, tabung penghisap dipasang dan dilakukan penghisapan sambil jarum ditusukkan hingga batasnya yaitu sepanjang 2,5 cm kemudian dikeluar masukkan 2-3 kali. Setelah jarum dikeluarkan bahan biopsi didorong masuk kedalam botol dan dikirimkan kelaboratorium sitohistopatologi.
Untuk evaluasi terhadap kemungkinan komplikasi tindakan, dilakukan X foto torak rutin setelah BAT.
Biopsi kelenjar skalen
Penderita dalam posisi terlentang, dengan infiltrasi anestesi lokal dilakukan insisi sepanjang 5 cm, 2 cm diatas klavikula, sejajar dengan klavikula. Titik tengah insisi adalah tepi lateral m. sternokleidomastoideus. Bilamana jaringan lemak dibelakang m.sternokleidomastoideus dan klavikula diperiksa, maka kelenjar yang membesar dan dari luar sulit dipalpasi akan dengan mudah ditemukan dan dilakukan biopsi aspirasi.
Selanjutnya hasil pemeriksaan sito(histo)patologi yang diperoleh dari BAT kelenjar subkarina kelompok I dan II diatas dibandingkan dengan hasil sitohistopatologi yang diperoleh dari dahak, pemeriksaan bronkoskopi dan biopsi kelenjar skalen.
Kata kunci : spesialis paru malang, dokter spesialis paru malang, dokter paru malang, sp paru malang, ahli paru malang, spesialis paru di malang, dokter spesialis paru di malang, dokter paru di malang, sp paru di malang, ahli paru di malang, spp malang, spp di malang, dokter paru terbaik malang, dokter paru terbaik di malang, dokter paru senior malang, dokter paru senior di malang, dokter paru bagus malang, dokter paru bagus di malang, dokter paru terbagus malang, dokter paru terbagus di malang, dokter paru terbaik malang, dokter paru terbaik di malang, dokter ahli paru di malang, pulmonologi malang, dokter paru, spesialis paru, ahli paru, dokter spesialis paru, respirologi malang, respirology malang, pulmonology malang
Komentar pembaca
PRAKTEK