Klinik Respirasi Malang Klinik Respirasi Malang Whatsapp Klinik Respirasi Malang Registrasi Klinik Respirasi malang Peta Lokasi Klinik
Artikel Kesehatan

RESEKSI PARU PADA SEORANG TB PARU DENGAN BATUK DARAH HEBAT DAN BERULANG

Suwedo W.

Slamet H.

 

PENDAHULUAN

          Keadaan darurat paru yang paling dramatis dan menakutkan adalah batuk darah hebat apalagi yang dialami secara berulang. Hal ini adalah merupakan tantangan bagi keberanian dokter dari sejak era Hippocrates hingga sekarang. Tuberkulosis adalah salah satu penyakit paru yang bisa menimbulkan gejala atau penyulit berupa batuk darah yang mungkin dapat berakibat fatal.

 

          Obat anti tuberkulosis adalah pengobatan utama saat ini didalam menghadapi penyakit tuberkulosis. Walaupun demikian pada keadaan tertentu tindakan pembedahan masih perlu dilakukan. Tindakan pembedahan ini juga perlu dipertimbangkan dalam program penanggulangan tuberkulosis paru di Indonesia karena dengan tindakan ini, sumber penularan dapat dihilangkan.

          Untuk mengatasi batuk darah masif, dahulu masih dikerjakan tindakan tindakan seperti pneumotoraks buatan, pneumoperitonium dan torakoplasti. Pada saat ini tindakan tindakan tersebut sudah ditinggalkan karena hasilnya dipandang kurang memuaskan dibandingkan dengan tindakan pembedahan reseksi.

          Sejarah pembedahan reseksi paru pada tuberkulosis dimulai oleh Block (1883) dengan reseksi apikal kedua paru secara simultan pada seorang wanita yang berakhir dengan kematian hampir seketika, sehingga karena menyesalnya beliau akhirnya menembak kepalanya sendiri dengan pistol. Kemudian pada tahun 1891, Tuffier berhasil melakukan reseksi puncak paru kanan pada seorang laki umur 25 tahun.

          Dengan kemajuan tehnik pembedahan, pembiusan dan obat anti tuberkulosis, maka angka mortalitas dapat ditekan serendah mungkin. Tahun 1940 sesuai dengan laporan dari 'The American Association for Thoracic Surgery'didapatkan angka mortalitas sebesar 40,2 td_persen untuk pneumonektomi dan 20,5 td_persen untuk lobektomi. Penyebab kegagalan dikatakan karena penyebaran dari penyakitnya, fistel dari bronkus, empiema dan pleuritis toksika. Setelah penemuan streptomisin maka terjadi penurunan menyolok dari angka mortalitas tersebut, dikatakan karena streptomisin amat efektif untuk infeksi pada membran mukosa hingga komplikasi operasi yang dulu sering terjadi dapat diatasi dengan baik.

          Pada perawatan konservatif didapatkan angka kematian sebesar 30 td_persen sedangkan pada tindakan bedah 16 td_persen. Kematian pada perawatan konservatif pada umumnya terjadi pada kasus dengan pengobatan ulang dan penyebab kematiannya adalah asfiksia.

          Berikut ini akan dibicarakan kasus reseksi paru pada seorang tuberkulosis paru dengan batuk darah hebat dan berulang.

 

KASUS

          Seorang penderita pria, Tn.S, usia 45 tahun, suku Jawa, agama Islam, pekerjaan Pegawai RSDS. Masuk rumah sakit Dr.Soetomo tanggal 6 Juni 1987 dengan keluhan utama batuk darah. Beberapa hari sebelum MRS penderita sudah mulai batuk batuk darah kurang lebih 100 cc/hari, darah berwarna merah segar, berbuih, tidak bercampur dengan makanan. Sebelumnya selama 14 tahun penderita telah berulang kali sakit yang serupa dan telah 9x keluar masuk RS. Selama itu penderita dinyatakan menderita penyakit Tuberculose paru dan mendapatkan pengobatan thd. Tb dan beberapa kali tranfusi darah. Obat obatan yang dipakai adalah INH, Ethambutol dan vitamin, yang diakui walaupun digunakan cukup lama tapi tidak teratur/terus menerus. Diluar serangan batuk darah penderita juga batuk yang disertai dengan pengeluaran dahak putih kental. Daerah punggung kiri dirasakan pegal pegal sejak lama. Penderita tidak merasakan panas badan, kalaupun ada hanya kadang kadang saja dirasakan sumer2, badan lemah ,pusing dan sering keluar keringat pada malam hari. Keluarga atau kontak yang lain tidak ada.

          Pada status lama diketahui penderita MRS 27/12-85, dengan Koch Pulmonum dengan batuk darah dan G IV.       

          Pada pemeriksaan fisik dijumpai penderita dengan kesadaran baik, gizi agak kurang, tidak icterus, tidak sianosis tapi nampak anemis, tekanan darah 120/80, nadi 88/menit, suhu ketiak 36,8oC BB 48 kg, TB 162 cm.      

          Pada pemeriksaan kepala & leher tidak didapatkan pembesaran kelenjar gondok maupun getah bening. Desakan vena sentral normal. Tak dijumpai deviasi trachea.

          Pada pemeriksaan dada didapati toraks yang simetris baik dalam keadaan diam/pergerakan, keredupan didaerah paru kiri atas depan/belakang, adanya ronki basah didaerah paru kiri atas dengan suara pernapasan yang menurun didaerah tersebut. Batas paru hati ICS VI-Kosta VII, perkusi agak hipersonor dan suara pernapasan kanan bawah melemah. Jantung dalam batas normal.

          Pada pemeriksaan perut, hati teraba 1 jari bak., limpa tidak teraba, tidak tampak adanya kolateral dan asites. Alat kelamin dan dubur tidak ada kelainan.

          Anggauta gerak tidak dijumpai adanya kelainan.

 

          Hasil pemeriksaan laboratorium adalah sebagai berikut :

Pemeriksaan darah tepi : Hb 8,3 grtd_persen, leuko 5900/mm3, LED 53-86, hitung jenis 3/-/1/37/57/2.

Pemeriksaan air seni: albumin seangin, reduksi -, urobilin - bilirubin -, sedimen urin : eritrosit -,leukosit 3-4, epitel 1-4/plp, kristal Ca oksalat +

Pemeriksaan tinja : tidak dijumpai adanya kelainan.

Pemeriksaan kimia darah : Kreatinin serum 0,93 mgtd_persen, BUN 13,8 mgtd_persen, asam urat 5,9 mgtd_persen, kalsium 9 mgtd_persen, fosfor 3,05 mgtd_persen, alkali fosfat 8,6 U/l, SGOT 25 UK, SGPT 25 UK, bilirubin direk 0,49 mgtd_persen, bilirubin indirek 0,85 mgtd_persen, kolesterol 202 mgtd_persen, trigliserid 75 mgtd_persen, protein total 6,9 gtd_persen, albumin 3,9 gtd_persen, globulin 3,0 gtd_persen.,GDP 81 mgtd_persen.

Pemeriksaan sputum: Gram tidak diketemukan adanya kuman.

                         TTH - 3x ; Fluoresens +, G I.

Pemeriksaan Mantoux test positip 14 x 15 mm.

          Pemeriksaan radiologis menunjukkan kesuraman dilapangan atas paru kiri dengan diantaranya terdapat daerah radiolusen dan diafragma letak rendah pada hemithorax kanan, kesan suatu fibrosis proses Tb yang lama. Adanya emfisema kompensatoir paru kanan.

          Pemeriksaan faal hemostasis : Normal.(dibagian pat.klinik).

          Konsultasi kardiologis : Normal.

          Pemeriksaan faal paru : K.V. = 1450 cc (38td_persen predikt).VEP1 =  800 cc (55td_persen KV). Faal paru terpisah  : KV kanan 1000 cc.KV kiri 300 cc. Kesimpulan : Restriksi berat, obstruksi ringan, dengan kelainan paru kiri lebih berat.

          Pemeriksaan analisa gas darah :

                         Ph darah         =    7,351.

                         pCO2              = 44,9 mm Hg.

                         pO2                 =108,4 mm Hg.   

                         HCO3                         = 28,3 mMol/l.

                         B.E                 = +1,2 mMol/l.

                         Tot.CO2          = 30,7

Kesimpulan : Analisa gas darah dalam batas normal.

          Pemeriksaan bronkoskopi serat optik (yang dikerjakan pada permulaan batuk darah ulang setelah seminggu bebas batuk darah) : Didapati pada bronkus lobaris superior & lingula (kiri) kesan agak menyempit dengan mukosa hiperemis dan sekret banyak berwarna merah. Kesimpulan: Lumen bronchus lobaris superior dan lingula (kiri) kesan meradang dengan perdarahan berasal dari daerah tsb.

Pemeriksaan sitologis dari bronchial washing dan brushing yang dilakukan menghasilkan adanya tanda2 keradangan tanpa adanya tanda keganasan.

          Konsultasi dengan bagian Bedah (dibicarakan pada waktu konperensi toraks) direncanakan akan dilakukan lobektomi superior sinistra untuk menghilangkan cacat pada parunya.

          Konsultasi dengan bagian anestesi : setuju dilakukan operasi dengan persiapan Hb diatas 10 grtd_persen, persiapan darah secukupnya dan dilakukan fisioterapi napas.

          Perawatan diruangan :

Penderita dirawat tirah baring total, dalam posisi trendelenburg diet tinggi kalori tinggi protein, INH 400 mg., Rifampicin 600 mg., Ethambutol 1000 mg., Pyridoxin 30 mg., B Complex tabl.  Karena batuk darahnya demikian lama/rekurens selama perawatan di RS dicoba diberikan pneumoperitonium beberapa kali berturut turut 200 cc, 600cc, 600 cc, 600 cc dengan hasil masih tetap batuk darah . Selanjutnya diberikan darah sebanyak 3 labu hingga pada saat menjelang operasi Hb penderita menjadi 10 grtd_persen .

          Penderita dilakukan operasi lobektomi superior sinistra pada tanggal 30 Juli l987. Pada eksplorasi didapatkan perlekatan paru lobus superior dan inferior serta seluruh pleura visceralis dan parietalis, paru kiri lobus superior rusak dan melekat erat dengan dinding thoraks. Selanjutnya dikerjakan pelepasan semua perlekatan dan dikerjakan lobektomi superior sinistra dan dipasang toraks drain. Perawatan post operasi diberikan fisioterapy pernapasan, anti Tb tetap diteruskan, antibiotika/ kemoterapeutika, hemostatik dan analgetika. .

          Hasil pemeriksaan Patologi Anatomi : Gross tampak

jaringan paru dengan benjolan ukuran 8x6x4 cm dalam berisi bahan seperti gudir hijau. Mikroskopis tampak bronkiektasi paru dengan satu jaringan sangat besar berbentuk abses. Nampak pula adanya tuberkel2, tapi tanda tanda TBC yang jelas tak nampak. Tidak ada tanda2 keganasan.    

          Tanggal 14/8 l987 penderita selesai perawatan di Bedah dan alih rawat kembali kebagian Paru. Klinis penderita makin lama makin baik, batuk darah berhenti, nafsu makan bertambah, keluhan nyeri dada menghilang. Faal paru pasca operasi menunjukkan :

          Kapasitas Vital = 1350 cc (37,5td_persen predikt),

          VEP1                 =   600 cc (44,4td_persen KV).

Selanjutnya penderita dipulangkan pada tanggal 7 September l987 untuk selanjutnya diharapkan kontrol dipoliklinik paru untuk kelanjutan pengobatan Tbnya hingga selesai.

 

PEMBAHASAN.

         Batuk darah hebat pada seorang penderita tuberkulosis paru ternyata tidak sebanyak yang diperkirakan, yaitu hanya sekitar 2td_persen dari jumlah total penderita. Sedangkan batuk darah secara keseluruhan dijumpai pada sekitar 15-36td_persen penderita Tb paru.

          Keadaan keadaan yang bisa menyebabkan batuk darah pada penderita tuberkulosis paru adalah keadaan yang berhubungan dengan suatu aneurisma arteri paru (Rasmussen); vaskularisasi tinggi pada jaringan granulasi terletak ditepi kavitas, kerusakan bronkus karena tekanan kelenjar limfe yang membesar atau karena perkapuran, bronkiektasi dan aspergillosis yang menyertai dalam fibrokavitas tuberkulosis.

          Jumlah darah yang masif dikatakan bervariasi lebih dari 100-600 ml dalam 18-24 jam, tapi ada pula yang mengatakan lebih dari 100 ml perhari sudah dikatakan hemoptisis masif. Harus dipertimbangkan bahwa jumlah darah yang dikeluarkan penderita tidak semuanya dibatukkan keluar karena ada sebagian yang ditelan, sebaliknya darah yang dibatukkan keluar sukar sekali diukur secara tepat karena biasanya tercecer. Maka ada yang mengambil suatu batasan bahwa batuk darah hebat adalah suatu batuk darah dalam jumlah sedemikian banyak yang dapat menyebabkan penyumbatan jalan napas, hingga membahayakan kehidupan penderita.

          Penatalaksanaan batuk darah yang hebat biasanya terdiri dari 3 bagian besar yaitu : mencegah tersumbatnya jalan napas, membantu dan mempertahankan fungsi vital, dan menghentikan perdarahan.

          Untunglah bahwa sebagian besar kasus batuk darah hebat dapat berhenti dengan sendirinya. Seperti diketahui dalam penelitian Bobrowitz et al, penderita batuk darah yang diobati konservatif 31 td_persen batuk darah henti dalam 1  hari,; 48 td_persen dalam 2 hari; 75 td_persen dalam 3 hari; dan 87 td_persen berhenti batuk darah setelah 4 hari. Hingga dengan perawatan konservatif seperti diatas biasanya sudah dapat diatasi. Hanya pada kasus kasus tertentu diperlukan peranan dan intervensi bedah.

          Indikasi pembedahan pada tuberkulosis paru menurut Amiratta et al lebih mengutamakan adanya resiko timbul aspirasi dibanding dengan jumlah darah yang dibatukkan. Thoms et al menganjurkan reseksi paru jika ada batuk darah mengancam atau gambaran radiologis dengan 1. Kiste kosong kemudian berisi kembali. 2. Kiste berisi cairan sebagian atau berisi penuh menyerupai masa dapat bergerak. 3. Gambaran radiologis yang menetap. Dalam hal tersebut ditekankan pendekatan pembedahan agresif yang mempunyai prognosis/angka penyelamat lebih baik dari pada pengobatan medis.

Menurut Suryatenggara Wibowo, indikasi pembedahan dapat dibedakan kedalam dua golongan yaitu :

 

  1. Indikasi absolut meliputi :
  • penderita yang telah mendapat obat anti Tb secara adekwat tapi sputum masih tetap positip kuman tuberculosa.
  • penderita dengan batuk darah masif yang tidak dapat diatasi secara konservatip.
  • penderita dengan komplikasi fislula bronkopleural dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatip.
  1. Indikasi relatip meliputi penderita sudah diobati dan sputum sudah negatip tetapi tetap mempunyai keluhan keluhan,misalnya:
  • batuk darah sedikit sedikit tapi sering berulang.
  • batuk batuk dengan banyak sputum.
  • kerusakan satu paru atau lobus yang sering menimbulkan keluhan diatas atau dikhawatirkan penyakitnya akan kambuh.
  • ada sisa kavitas.   

Penderita diatas termasuk merupakan indikasi absolut, yaitu penderita dengan batuk darah masif yang tak dapat diatasi dengan jalan konservatip disamping batuk darah yang terjadi berulang walaupun sudah lama diobati dan dahak tetap positip. Gambaran radiologis menunjukkan kelainan fibrosis yang menetap pada paru kiri atas.        

          Kontraindikasi suatu reseksi paru adalah :

  1. Lesi fibrokavernosa bilateral yang lanjut dan adanya basil tuberkulosa yang tidak sensitip dengan anti Tb lagi.
  2. Faal paru penderita jelek.
  • pneumonektomi bila kapasitas vital kontralateral <35td_persen. dan
    FEV1 <60td_persen.
  • operasi bilateral bila kapasitas vital <50td_persen, dan FEV1 <60td_persen.
  • operasi unilateral bila kapasitas vital <40td_persen, dan FEV1 <60td_persen.     

          Tindakan bedah yang dilakukan pada penderita adalah suatu reseksi lobus (lobektomi) superior kiri dari paru penderita.

Terapi reseksi pada pembedahan tuberkulosis paru ada 4 cara : 1. pneumonektomi  2. lobektomi  3. segmentektomi  4. eksisi lokal. 

          Mortalitas lobektomi rata rata 3-5td_persen dan mortalitas pneumektomi 8-10td_persen sedang resiko segmentektomi hanya sekitar 1-2 td_persen. Pada peneliti Hananto I. kematian adalah 16 td_persen.  Dikatakan sebagai penyebab komplikasi terutama adalah, penyebaran penyakit Tb, fistula bronkopleura , empiema.

          Komplikasi fistula bronkus (3-6,2td_persen); komplikasi ini sangat erat hubungannya dengan keadaan penderita sebelum pembedahan, dahak yang masih positip, lamanya dahak negatip sebelum operasi (optimum 3-6 bulan), di RS Persahabatan didapatkan komplikasi 0td_persen dari 8 penderita yang dioperasi. Namun dahak negatip yang lebih lama dari 6 bulan sebelum operasi terjadi hal yang sebaliknya, yaitu komplikasi makin banyak sekitar 16,6 td_persen . Hal ini mungkin disebabkan karena waktu pengobatan sedemikian lama, sudah banyak 'strain' kuman tuberkulosis yang menjadi resisten. (Miyashita 1973).

          Pada penderita kami, seorang dengan usia 45 tahun keadaan umum cukup, tidak ada gangguan faal hati, ginjal maupun kelainan jantung. Faal paru paru : restriksi berat dan obstruksi ringan dan dahak dengan BTA masih positip.

Dilihat dari toleransi penderita dan dihubungkan dengan uraian diatas, penderita mempunyai resiko cukup tinggi, namun setelah pembedahan menunjukkan hasil yang memuaskan.

 

RINGKASAN

          Telah dibicarakan seorang penderita Koch Pulmonum dengan batuk darah berulang dan banyak, penderita sudah diobati dengan obat anti Tb sejak 14 tahun yang lalu dan 9 kali keluar masuk rumah sakit. Pada pemeriksaan dahak masih diketemukan basil tahan asam.

Fisis toraks asimetris, kiri tertinggal, keredupan dada kiri atas, ronki basah dengan suara pernapasan menurun, gambaran radiologis dada menunjukkan adanya kesuraman dan daerah radiolusen serta penarikan penarikan paru kiri atas mengesankan adanya konsolidasi kronis yang sebagian besar telah mengalami perubahan menjadi jaringan parut.

Pada tanggal 30 Juli 1987 dilakukan operasi lobektomi superior sinistra. Pemeriksaan Patologis Anatomis ditemukan adanya tuberkel dan gambaran bronkiektasi.

Penderita selesai perawatan di rumah sakit, klinis penderita makin lama makin baik.; batuk darah berhenti, nafsu makan bertambah dan keluhan nyeri dada menghilang.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Amirana,M; Frater,R; Tirschwell,P et al; An Aggressive Surgical Approach to Significant Hemoptysis in Patients with Pulmonary Tuberculosis. Am.Rev.of Resp.Dis.Vol 97. 1968.p.187
  2. Adams, WE. Pulmonary Tuberculosis. Surgery Principles and Practice. by Rhoads,JE; Allen, JG; Harkins, HN et al; 4th Ed. Modern Asia Edition 1971, p.1393.
  3. Bobrowitz, ID; Ramakrishna, S; Young Soo Shim Comparison of Medical V Surgical Treatment of Major Hemoptysis. Arch.Intern.Med. Vol 143. July 1983 p.1343.
  4. Gaensler EA. The Surgery for Pulmonary Tuberculosis. In: Am Rev Resp Dis. Koch Centennial Supplement 1982, 125: 73-84.
  5. Hananto, I; Suryatenggara, W; Arief,N dkk; Batuk Darah Masif pada penderita penderita Tb. Paru Prognosis pada Pengobatan Konservatif dan Operatif. Kumpulan Naskah Ilmiah Lengkap Konggres IDPI ke I di Jakarta. 1977 hal 401.
  6. Ismid, H; Busroh, DI; Hakim, T; dkk. Peranan Bedah dalam     menanggulangi Tb Paru. Simposium Pengobatan Mutakhir Tb Paru. Edited Farid, M; Rasmin, Menaldi. IDPI Cab. Jakarta, 11 Juli 1987, p.63.
  7. Lambey, W. Aspek Bakteriologi (M.Tb) Kasus Pembedahan Tuberkulosa Paru. Kumpulan Naskah Ilmiah Lengkap Konggres IDPI ke I. Jakarta. 1977, hal 311.
  8. Quinlan, JJ; Schiffner, VD and Hiltz, JE. Pneumonectomy for Tuberculosis : Approach of Results In 143 cases. Am.Rev.of  Resp.Dis. Vol 97.1968. p.193.
  9. Suryatenggara W. Aspek Pembedahan Tuberkulosis Paru. In: Penyeragaman Beberapa Pengertian dan Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru. Pilihan I IDPI. Jakarta 1984: 33-34.
  10. Suryatenggara, W; Busroh, I; Soeroso. Bedah Paru dibagian Paru FKUI. RS Persahabatan Jakarta. In. Medika No 3 Agustus, 1977.p.35.
  11. Thomas, AN; Thoracic Wall, Pleura, Lung & Mediastinum. In. Current Surgical Diagnosis & Treatment by Dunphy, JE; Way, LW; 2nd Edition. LMP, 1975. p.297
  12. Tarigan, MM: Beberapa pengalaman Penetrapan Pneumonektomi     berdasarkan faal paru dengan gejala gejala klinis. Kumpulan Naskah Ilmiah Lengkap Konggres IDPI Ke I di Jakarta 1977 hal.673
  13. Wedel M. Massive Hemoptysis. In: Shibel EM, Mooser KM, Respiratory Emergencies. Saint Louis 1977: 200-6.
  14. Young, WG; Moor, GF. The Surgical Treatment of Pulmonary Tuberculosis. In. Textbook of Surgery. by Sabiston, DC. 11th Ed. W.B.Saunder Comp. 1977.p.2103

 

--ooooOOoooo--

 

Surabaya 11 Mei 1988.-

 


Kata kunci : spesialis paru malang, dokter spesialis paru malang, dokter paru malang, sp paru malang, ahli paru malang, spesialis paru di malang, dokter spesialis paru di malang, dokter paru di malang, sp paru di malang, ahli paru di malang, spp malang, spp di malang, dokter paru terbaik malang, dokter paru terbaik di malang, dokter paru senior malang, dokter paru senior di malang, dokter paru bagus malang, dokter paru bagus di malang, dokter paru terbagus malang, dokter paru terbagus di malang, dokter paru terbaik malang, dokter paru terbaik di malang, dokter ahli paru di malang, pulmonologi malang, dokter paru, spesialis paru, ahli paru, dokter spesialis paru, respirologi malang, respirology malang, pulmonology malang, respirologi malang, respirology malang, pulmonology malang

Tulis komentar

 
 

PRAKTEK
RS Panti Waluya / RKZ Sawahan, Lt II-B1
, Dr Koentjahja, SpP
Nusakambangan 56, Malang 65117
08113777488 / 362017 ext. 88.23
Pukul 18.00 - 20.00, kec. Sabtu, Minggu / Libur


Rumah
, Dr Koentjahja, SpP
Wilis Indah A-6, Malang 65115
0818568711 / 0341-568711
Senin - Sabtu Pukul 09.00-10.00,
kec. Minggu / Libur


    


Peta Lokasi


Update COVID-19 Malang
Jajak Pendapat

Apa saja gejala COVID-19?

Batuk
Pilek
Sakit Tenggorok
Sesak/Nyeri dada
Semua

 
 
 koentjahja.com  |
 nathaliamayasarisa.com  |
 klinikrespirasimalang.com  |
 drgevitaindiani.com  |
 drgleonyindriati.com  |